Para perokok pasif

Beberapa saat sehabis sholat zhuhur, kami mulai mencari di dalam asbak atau tempat biasa ayahku merokok sisa-sisa rokok yang kadang tak habis terbakar, kemudian menyatukan kembali menjadi sebatang rokok, atau bila beruntung kami akan menemukan sebatang rokok yang mungkin baru sebentar dihisap dan ditinggalkan oleh ayahku. Dengan berlari kami menuju masjid untuk kemudian menghisap rokok tersebut bergantian di toilet di dalam tempat pemandian umum yang atapnya terbuka. Aku atau abangku atau tetangga yang kadang juga ikut yang akan berjaga di luar secara bergantian.

Aku lahir dan besar dari keluarga dan lingkungan yang sebagian besar adalah perokok, aku mulai merokok bahkan sebelum masuk sekolah dasar. Selesai mengaji di kampung aku pindah ke tempat orangtuaku mencari nafkah disebuah terminal di perbatasan Sumatera Barat dan Riau, disebuah daerah yang bernama Pangkalan yang juga merupakan tempat kelahiranku sebelum pindah ke kampung orangtuaku untuk mengaji dan belajar agama. Layaknya sebuah terminal semua jenis manusia bercampur baik dari segi fisik maupun karakter, dan hampir tak ada yang tidak merokok kecuali perempuan, sekeras apapun dia hampir tak pernah aku melihat perempuan merokok.

Secara diam-diam aku masih terus dengan kebiasaanku merokok apalagi semua teman-temanku yang kala itu masih sekolah dasar juga sebagian besar merokok. Sepulang sekolah setelah membantu orangtuaku berjualan di warung aku diijinkan untuk bermain sepeda kemudian bermain bola. Ketika berkumpul dengan teman-teman itu selain bermain kami juga merokok dengan membeli secara patungan, bahkan suatu ketika, sekitar kelas 5 sd, kami mencoba ganja yang didapat dari seorang teman yang juga preman terminal, dan jika bukan karena mahal mungkin kami lebih memilih untuk menghisap ganja daripada rokok. Kebiasan ini berlanjut ketika smp dan sma, ketika itu merokok lebih identik dengan status kelaki-lakian, keren dan jantan, ditambah dengan media yang dimasa itu yang sering menampilkan film-film koboi yang sebagian besar diperankan oleh aktor yang selalu ditemani rokok. Begitupun kami, sebagian besar merokok bukan karena kecanduan atau depresi tapi masalah gengsi dan prestige. Kebiasaan merokok kami ini kemudian berkurang atau bahkan hampir hilang ketika kami membuat klub bola dan fokus akan hal itu.

Selepas sma aku mengalami sakit yang parah sekitar 9-10 bulan, kondisi ini membuatku tidak bisa melanjutkan kuliah dan setelah sembuh aku disarankan untuk menyegarkan pikiran dengan berkunjung ke rumah kakakku di Bekasi. Sembari menunggu jadwal masuk kuliah aku mencoba melamar pekerjaan dibeberapa pabrik untuk sekedar mencari uang tambahan. Ketika ini aku benar-benar hampir tidak punya uang sama sekali, ditempat tongkronganku ketika itu, sebuah rental ps aku merokok hanya jika ada gratisan atau hasil berbagi dengan teman. Satu-satunya usahaku untuk mencari uang adalah dengan taruhan bola itupun jika melawan teman yang aku tau kemampuannya, dengan kata lain, peluangku untuk menang besar. Aku dapat panggilan wawancara dari sebuah perusahaan baterai yang sangat terkenal di Indonesia dan seperti biasa aku disuruh menunggu 1-3 minggu untuk kemudian dipanggil lagi, tapi setelah hampir 3 bulan aku tidak mendapat kabar apapun, sehingga membuat aku memberanikan diri untuk bertanya memastikan kelanjutan setelah wawancara sebelumnya. Setelah kejadian itu aku dipanggil dan diterima sebagai karyawan kontrak selama 3 bulan. Ketika mulai bekerja dan menghasilkan uang aku mulai merokok dengan membeli perbungkus kemudian menjadi perslop dengan tujuan berhemat karena lebih murah, tapi justru hal ini membuatku jadi lebih sering merokok.

Ketika itu tren internet mulai naik, sosial media, email atau membuat blog

Sebenarnya aku tidak pernah merasa kecanduan akan rokok, tidak masalah bagiku untuk tidak merokok setelah makan atau ketika cuaca dingin, aku pernah tidak merokok ketika tidak punya uang sama sekali atau ada hal yang lebih penting daripada membeli rokok. Tapi kondisi dan lingkungan membuatku untuk terus merokok.

Ketika itu, aku sedang berbincang dengan seorang teman disebuah cafe daerah Kemang, setelah memesan kopi kami duduk di luar cafe, karena teman aku ingin merokok, perbincangan kami cukup serius meski aku agak sedikit terganggu dengan asap rokok dari pengunjung dan juga temanku itu.

Semakin lama asap rokok benar-benar membuat aku terganggu hingga sangat sulit buatku untuk konsentrasi dengan obrolan, kondisi ini membuatku teringat masa-masa ketika dulu aku merokok, meski aku tidak pernah merokok di ruang tertutup seperti biskota yang penuh dengan penumpang. Aku berpikir bahwa orang-orang disekitarku berlebihan karena ketika aku merokok mereka kadang menutup hidung atau mulut atau bahkan muka karena tak mau terganggu dengan asap rokok, padahal aku ketika berada disekitar orang-orang yang merokok tidak pernah melakukan itu karena buatku itu memang tidak mengganggu, aku nyaman dan tak masalah ketika orang disekitarku merokok. Bahkan hampir setahun setelah aku berhenti merokok aku masih tidak benar-benar terganggu dengan asap rokok orang-orang disekitarku.

Sekarang, setelah cukup lama berada di lingkungan orang-orang yang tidak merokok, kemudian kembali ke lingkungan perokok, aku benar-benar terganggu dengan asap rokok.

Mungkin mereka yang dulu terganggu dengan asap rokokku juga adalah orang-orang yang berasal dari lingkungan bukan perokok.

Sekarang aku sadar ternyata cukup banyak orang-orang yang secara tidak langsung aku sakiti bahkan kemudian berpikiran negatif terhadap mereka, disini aku secara terbuka memohon maaf atas perbuatan aku ketika itu.

Aku tahu mungkin mereka tidak akan sempat membaca permohonan maafku ini, tapi tidak apa-apa, setidaknya aku telah berusaha minta maaf dan mengakui kesalahanku.